Sebuah fitrah jika perempuan suka berbicara.
Suka bercerita.
Suka membagi perasaannya.
Terlebih jika lawan bicara dapat memahami isi hatinya.
Obrolan yang mengalir, tak terasa 1, 2, 3 jam lewat, seru sekali.
Sampai terkadang lupa, aku tadi ngobrolin apa aja ya?
Tak jarang, membicarakan orang lain juga turut menjadi bumbu-bumbu bercengkrama.
Awalnya membahas kebaikan seseorang, lanjut ke masalah pribadi, terus ke komentarin orang lain.
Boleh sih kamu nggk suka sama seseorang, tapi tak perlu juga memberitahu orang lain sehingga membuatnya melihat keburukan orang yang kita benci.
Saat kamu membicarakan keburukan orang lain, hanya ada 2 kemungkinan, 1. Ceritamu salah dan itu termasuk fitnah, 2. Ceritamu benar dan itu termasuk ghibah, bagai memakan bangkai saudara sendiri, naudzubillah.
Mulut, dengan struktur lidah tanpa tulangnya memang banyak dibahas dalam bab lisan, hati-hati terhadap lisan.
Tapi kan kak, wanita butuh banyak berbicara? Butuh banyak mencurahkan rasa?
Kalo nggk ngomongin orang, bisa jadi kerjaannya ngomel2 ndak karuan.
Bisa jadi benarr.
Dan butuh diungkapkan ya.
Kalo dipendem ya gitu, bisa meledak lewat kata2 bertempo cepat dan bernada tinggi, ngegas begitu lah istilahnya 😂
Mungkin, salah satu alasan aku menulis ini juga karena perasaan yang harus dikeluarkan, uneg2 yang sudah tidak bisa disimpan. Jadilah tertuang di dalam blog yang isinya cuma curhatan 😂
It's okay.
Better than you always ngomongin orang kan.
Karena dampak lidah luar biasa dasyatnya.
Sekali kamu berbicara, siap-siap yang namanya rahasia sudah bukan lagi konsumsi kalian berdua semata.
Dan nanti saat masalah sudah selesai di kamunya, belum tentu berita yang tersebar berhenti sampai disana, akan ada kejutan-kejutan yang mungkin tak kau sangka-sangka.
Malu? Menyesal? Tentu, kau akan merasakan itu pada akhirnya.
Bagaimana kau merenungi tentang tak berdayanya kamu dalam mengolah rasa lewat kata.
Semoga menjadi bahan renungan bersama.