Uangnya habis untuk agama.
Waktu dan tenaga habis untuk agama.
Lalu ktemu orang-orang yang pandangannye lebih tentang dunua, bisa saja sisebut tidak realistis.
Namun sesungguhnya, bukan tidak realistis, tapi itu tentang prioritas.
Dan realistis untuk orang beriman adalah prioritas pada agamanya.
Apa yang engkau pakai hingga usang.
Dan apa yang engkau sedekahkan.
Bagaimana dengan pakaian kita yang hanya menumpuk di almari?
Bagaimana dengan seluruh harta kita yang diam?
Belum tentu itu adalah rezeki kita.
Padahal realistis yang sesungguhnya adalah kematian di depan mata.
Sudahkah kita siap dengan bekal yang akan kita bawa?
Yang kita tahu hanya amal kita yang akan menemani di alam kubur nanti.
Quran kita nanti yang memberi cahaya.
Sedekah untuk memberi ketenangan.
Dunia ataukah akhirat?
Kampung akhirat bukan?
Bukankah kita memang makhluk akhirat yang akan kembali ke akhirat juga.
Ataukah kita justru lupa darimana kita berasal dan kemana kita akan kembali.
Ukuran kecerdasan seseorang adalah kemampuannya memandang akhirat.
Hidup ini singkat.
Sia-sia kalau kita dipusingkan dengan penilaian orang.
Pake kacamata kuda aja.
Fokus dengan tujuan kita di depan sana.
Abaikan noise di sekitar.
Karena waktu yang terbuang tak akan pernah kembali berputar.
Beberapa orang bilang saya ini rumit.
Banyak memikirkan hal-hal yang terkadang orang lain tidak habis pikir.
Ini dipikir.
Itu dipikir.
Onoh juga dipikir.
Kenapa begitu?
Mbok ya yang selow aja gitu.
Begitu katanya mereka.
Padahal.
Padahal nih ya, mereka nggak tau aja saat saya termenung bisa jadi mereka adalah salah satu alasan yang ada di otak saya.
Bagaimana saya menyampaikan sesuatu tanpa menyakiti lawan bicara saya.
Nah, mau ngomong aja dipikir kan.
Tak jarang juga kebenaran yang ingin tersampaikan menjadi diremehkan hanya karena saya tidak tegas dalam menyampaikannya.
Banyak mikir sih, nah.
Kadang saya juga mikir, *nah mikir lagi kan.
Kok bisa ya orang ngomooong gitu aja tanpa disaring dulu.
Tegas sih tapi nyakitin.
Nggak kebanyakan mikir sih, tapi kuk jadi terkesan cuek dan tidak peduli ya.
Sudut pandang setiap orang berbeda.
Dan justru bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah bagaimana kita mengelola diri kita untuk menerima dan memahami bahwa kehadiran kita bukan untuk diakui dan diapresiasi, namun kehadiran kita adalah untuk memberi banyak manfaat meski tak pernah disadari.
Bukan lagi tentang mengapa aku berbeda.
Tapi ini semua tentang bagaimana aku sadar bahwa aku berbeda sehingga aku bisa lebih memahami orang lain.